BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Minggu, 20 Desember 2009

KAMUFLASE UJI KOMPETENSI DAN MUTASI GURU

Kita tahu bahwapendidikan bukan hanya berarti belajar, tetapi juga mengajar. Begitu pentingnya peran guru agar pendidikan maju, sehingga guru kadang dianggap sebagai determiner (penentu) majunya pendidikan di suatu sekolah, mengalahkan otoritas kepala sekolahnya sendiri.

Menurut Sergiovanni (1987) bahwa tidak ada peserta didik yang tidak dapat dididik, yang ada adalah guru yang tidak berhasil mendidik. Tidak ada guru yang tidak berhasil mendidik, yang ada adalah kepala sekolah yang tidak mampu membuat guru berhasil mendidik. . Bahkan guru boleh dikatakan sebagai tulang punggung pendidikan karena inti dalam pendidikan adalah keberhasilan dalam pengajaran, pendidikan dan pelatihan yang dirasakan langsung oleh peserta didik. Bagaimana kalau tidak berhasil?, maka hati-hati saja, "ujung tombak akan menghunjam tulang punggung". Kegagalan sekolah terjadi, siapa lagi yang patut dimarahi kalau bukan guru.

 

UU 20/2003 tentang sisdiknas pasal 50 ayat 3 mengamanatkan bahwa ‘ pemerintah dan /atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional’

Panduan Sistim Penyelenggaraan Rintisan SBI dari direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Mandikdasmen) memberi batasan bahwa sebuah sekolah bertaraf internasional adalah sekolah nasional yang ’menyiapkan peserta didiknya berdasarkan standar nasional pendidikan (SNP) Indonesia dan tarafnya internasional sehingga lulusannya memiliki daya saing internasional’ (h.3). Dengan kata lain, SBI adalah ’SNP + X’ (Ditjen Mandikdasmen, 2007, h.3). SNP adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang meliputi 1) standar kompetensi lulusan, 2) standar kurikulum, 3) standar proses belajar mengajar, 4) standar tenaga pendidik dan kependidikan, 5) standar fasilitas, 6) standar manajemen, 7) standar pembiayaan, dan 8) standar penilaian. Adapun ’X’ merupakan penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman, melalui adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan, baik di dalam maupun luar negeri, yang telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional’ (Ditjen Dikdasmen, 2007, h.3).

Dalam penjelasannya, Direktorat PSMP (Dit. PSMP) menegaskan bahwa SBI adalah suatu sekolah yang telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) pada tiap aspeknya. meliputi kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan, pengelolaan, penilaian dan telah menyelenggarakan serta menghasilkan lulusan dengan ciri keinternasionalan’ (Dit. PSMP, 2007, h.5).

Adapun sekolah rintisan SBI diartikan sebagai sekolah yang berada dalam tahap uji coba dan pembinaan awal untuk dipersiapkan menjadi SBI (Dit. PSMP, 2007, h.5). Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam hal ini adalah tanggung jawa bersama antara Departemen Pendidikan Nasional dalam hal ini Direktorat PSMP, Dinas Pendidikan Provinsi dan dinas Pendidikan Kabupaten/Kota (Dit.PSMP, 2007, h.5)

Ilustrasi singkat ini memberi gambaran kepada kita betapa luas dan beratnya cakupan tugas yang diemban oleh sekolah rintisan SBI sehingga dapat dipastikan diperlukan sumber daya manusia yang memenuhi dan bermutu apabila tahap rintisan ingin dilalui dengan berhasil.

SBI harus memiliki sumber daya manusia yang profesional dan tangguh, baik guru maupun kepala sekolah, tenaga pendukung (tenaga komputer, laboran, pustakawan, tata usaha, dsb. Profesionalisme pendidik dan tenaga pendidikan ditunjukkan oleh penguasaan bidang kerjanya, etos kerjanya, penguasaan bahasa asing, (Bahasa Inggris khususnya), penguasaan ICT mutakhir dan canggih bagi pekerjaannya, berstandar internasional, dan etika global (Ditjen Mandikdasmen, 2007, h.14).

Lebih rinci, dalam penjelasannya tentang profil akhir SBI bidang SDM , Ditjen Mandikdasmen (2007) menguraikan bahwa guru SBI harus ’a) mamadai jumlahnya, b) memiliki kualifikasi pendidikan minimal S-1, c) memiliki tingkat relevansi tinggi, d) memiliki sertifikasi profesi guru, e) memiliki kesanggupan kerja yang tinggi, f) menggunakan ICT dalam mengajar, [dan] g) mampu mengajar dalam bahasa Inggris secara efektif (TOEFL:500)’ (h.35). Mirip dengan profil guru yang dikehendaki, Ditjen Mandikdasmen (2007) juga membuat profil untuk kepala sekolah, pustakawan, laboran, teknisi komputer, kepala TU, dan tenaga administrasi lainnya. Masing-masing profesi memiliki spesifikasinya sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya. Kemiripan standar yang dipersyaratkan bagi profesi-profesi tersebut adalah 1) memenuhi kualifikasi pendidikan yang dipersyaratkan, 2) menguasai bahasa Inggris aktif dengan standar sesuai dengan profesinya, misalnya kepala sekolah TOEFL 500; KTU, laboran, pustakawan dan teknisi TOEFL 450; sedangkan tenaga administrasi TOEFL 400; 3) menguasai infomation and communication technology (ICT) mutakhir, dan 4) memiliki etos kerja yang tinggi (h.35-36).
Ditjen Mandikdasmen (2007) juga mempersyaratkan kepala sekolah SBI memiliki kemampuan kepemimpinan dan manajerial yang memadai (h.35) agar mampu melaksanakan ’kepemimpinan transformasional’ (h. 14), dan menyelenggarakan ’manajemen berbasis sekolah’ (h.35), serta jika mungkin menambahnya dengan menerapkan ’manajemen mutu terpadu (total quality management)’ (h.13).

Tapi kita lihat fakta berikut. Berdasarkan Test of English for International Communication (ToEIC), dari sekitar 600 guru sekolah rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) SMP, SMA, dan SMK di seluruh Indonesia, terungkap bahwa penguasaan bahasa Inggris guru dan kepala sekolahnya rendah. Data tersebut diungkapkan oleh Direktur Tenaga Kependidikan Direktorat Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas Surya Dharma, MPA, Ph D. Hasil tes itu menunjukkan standar bahasa Inggris guru dan kepala sekolah RSBI pada umumnya rendah, sebanyak 60 persennya berada pada level paling rendah kemampuan berbahasa. Bisa disimpulkan bahwa adanya penetapan SBI atau RSBI sering mengabaikan tuntutan bahasa inggris aktif. Akibatnya kemampuan berbahasa inggris guru dan kepala sekolah rendah.

Dari keadaan tersebut muncul format baru sebagai pengembang kualitas sekaligus untuk memunculkan semangat daya saing di kalangan guru dengan melakukan sistem seleksi. Yaitu seleksi dengan melakukan tes kompetensi pada guru pelajaran MIPA dan beberapa dari mata pelajaran IPS. Selain memacu para guru untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris. Tes yang digagas pertama kali itu ditujukan untuk menyaring guru-guru MIPA terbaik yang nantinya kelompok guru terbaik akan dikumpulkan dan diberi pelatihan dan kemudian akan ditempatkan di sekolah-sekolah RSBI.

Ada yang pro denagn konsep tersebut, tapi banyak yang kontra dengan konsep tesebut. Bagi mereka yang pro menganggap guru yang terbaik memang harus diprioritaskan mendapat beasiswa dan ditempatkan di sekolah RSBI untuk membimbing siswa-siswa yang terbaik juga. Tapi tidak bagi mereka yang kontra dengan alasan seandainya pengangkatan atau pemindahan dapat dilakukan, guru lama belum tentu dapat dipindahkan keluar begitu saja mengingat mereka boleh jadi merupakan personel yang telah berjasa menjadikan sekolah rintisan SBI mencapai prestasi terebut.

Bagaimanapun juga predikat sehingga sekolah mencapai RSBI tidak gampang, membutuhkan waktu dan usaha yang keras. Perlu waktu bertahun-tahun untuk mengukir prestasi yang hingga menyandang predikat RSBI, dan semua itu tidak terlepas dari peran guru (lama) sebagai pelaksana maupun pembimbing. Jadi tidak adil rasanya kalau mereka dipindahkan begitu saja dan diganti dengan guru (baru) yang tidak mempunyai andil apa-apa terhadap keberhasilan RSBI. Memindahkan tenaga lama berarti mengesampingkan unsur history. Tetapi patut pula diingat bahwa ’membuang’ para senior, yang tidak jarang merupakan jangkar budaya sekolah, sangat mungkin akan mengubah akar budaya yang diperlukan untuk mempertahankan budaya yang sudah baik.

 
Memang banyak ahli berpendapat bahwa kompetensi terpenting seorang pendidik sebagai prasyarat utama memberikan pengajaran sesuai pola SBI adalah skil bahasa internasional, yaitu Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Tapi buktinya sampai saat ini banyak guru belum berhasil dijadikan role model pengguna Bahasa Inggris yang baik, dan jika dikaitkan dengan kebijakan pemerintah mengembangkan Sekolah Bertaraf Internasional di sekolah negeri, banyak di antara guru tak siap menghadapinya.


Terlihat ada keengganan dari para guru mata pelajaran untuk mengadakan pembelajaran dalam Bahasa Inggris, karena mereka harus mengubah kebiasaannya mengajar dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. Bahkan banyak diantara mereka yang mengundurkan diri terlebih dahulu sebelum tes kompetensi diadakan. Karena merasa tidak siap dan tidak mampu menggunakan metode pembelajaran dalam bahasa inggris. ketika mengajar dengan menggunakan Bahasa Indonesia, para guru tidak bermasalah dalam tatanan konsep berpikir. Namun, begitu beralih menggunakan Bahasa Inggris dengan kemampuannya yang terbatas, mereka jadi bermasalah dengan konsep berpikir untuk mengajarkannya kepada siswa.

Tetapi kita kembalikan lagi kepada siswa. Apakah siswa lebih paham dan lebih pintar dengan konsep pembelajaran menggunakan bahasa inggris, ataupun sebaliknya.




0 komentar: